A. Manusia dan Kebudayaan
Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan memiliki segala
kelebihan dan kesempurnaan, yang sangat berbeda dengan binatang. Binatang
berkembang dari masa ke masa secara statis, alamiah, dan dengan perilaku yang
naluriah. Manusia berkembang secara dinamis, bergerak dan berubah dari waktu ke
waktu karena sejalan dengan perkembangan akal, budi, dan dayanya. Oleh karena
itu manusia disebut sebagai mahluk budaya. Mahluk yang menggunakan akal (rasio)
dalam berpikir untuk mengembangkan kehidupannya.
Ketika dilahirkan di muka bumi, manusia dalam
keadaan lemah dan tidak berdaya. Ketidakberdayaan manusia -ketika dilahirkan-
tampak dari keharusannya untuk belajar dan beradaptasi terhadap alam dan
lingkungannya. Hal ini berbeda dengan makhluk hewan yang telah siap hidup dalam
alam lingkungannya tanpa harus melalui proses belajar dan adaptasi yang lama.
Dalam proses menuju kesempurnaannya, makhluk manusia memerlukan berbagai upaya
untuk dapat mempertahankan hidupnya. Upaya yang dilakukan manusia itu merupakan
suatu pemanfaatan sejumlah kemampuan yang dimilikinya. Kemampuan manusia
tersebut di antaranya kemampuan otak yang dapat mengembangkan proses berpikir
atau berakal budi. Kemampuan berakal budi pada manusia tidak dimiliki jenis
makhluk lainnya, sehingga manusia disebut juga sebagai makhluk berakal budi
atau makhluk berpikir. Dengan kemampuan berpikir, manusia dapat mengembangkan
sistem-sistem yang dapat membantu mempertahankan kehidupannya. Sistem-sistem
tersebut adalah sistem bahasa, sistem pengetahuan, sistem organisasi sosial,
sistem teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi, dan kesenian).
Keseluruhan sistem tersebut dinamakan kebudayaan (Koentjaraningrat, 1990:98).
Keseluruhan sistem tersebut mewujudkan beragam
bentuk dan medium yang artifisial, sehingga dalam kehidupannya manusia
berhadapan dengan realitas baru yaitu dunia simbol. Menurut Ernst Cassirer
(1990) manusia tidak
hanya hidup dalam dunia fisik, tetapi hidup dalam
dunia simbolis. Bahasa, mite, seni dan agama adalah bagian-bagian dunia
simbolis itu. Cassirer juga menegaskan bahwa manusia selain memiliki kemampuan
sistem berpikir, juga memiliki kemampuan sistem simbolis. Dengan sistem ini
manusia mengembangkan pemikiran simbolis dan perilaku simbolis sebagai ciri
khas manusiawi -yang berbeda dengan binatang. Hal ini terbukti karena manusia
membuat dan menggunakan simbol dalam kehidupannya. Kehidupan budaya manusia
dengan kekayaan dan ragamnya adalah bentuk-bentuk simbolis. Perkembangan
kebudayaan manusia di dunia ini berkaitan erat dengan kemajuan sistem simbolis
manusia.
Manusia sebagai makhluk yang berkebudayaan tidak
bisa lepas dengan kehidupan manusia yang lain. Hal ini berarti bahwa manusia
dalam mempertahankan hidupnya memerlukan interaksi dengan sesama dan lingkungannya.
Interaksi manusia dalam suatu masyarakat akan berkembang menjadi salah satu
kebutuhan (sosial), karena setiap manusia senantiasa memerlukan keberadaan
manusia yang lain. Dengan demikian, manusia selain sebagai makhluk budaya juga
makhluk sosial.
Kelompok manusia yang terorganisir dalam suatu
masyarakat mengembangkan kemampuan berpikirnya untuk menciptakan kebudayaan.
Sehingga kebudayaan yang diciptakan masyarakat sebenarnya akan merupakan sistem
pengetahuan dan kepercayaan manusia yang disusun sebagai pedoman manusia dalam
mengatur pengalamannya dan persepsi manusia untuk menentukan tindakan dan juga
untuk memilih di antara alternatif yang ada (Kessing, 1981:68).
Salah satu unsur (subsistem) kebudayaan yang hidup
di masyarakat adalah kesenian. Jika kebudayaan dipandang sebagai sistem
pengetahuan atau sistem gagasan, maka konsekuensi logisnya kesenian merupakan
sistem pengetahuan, nilai-nilai dan gagasan yang merujuk pada nilai keindahan.
Kesenian yang berkembang dalam suatu kebudayaan masyarakat memiliki nilai-
nilai yang bersifat universal. Artinya, bahwa kesenian dapat dipolakan secara
sama.
Kesenian merupakan perwujudan dari ekspresi perasaan
manusia. Manusia sebagai pencipta seni mengungkapkan perasaannya melalui
beragam medium seni, dan karya seni merupakan suatu bentuk perwujudannya. Dalam
konteks kesenian, ada tiga unsur pokok yang saling berkaitan yaitu pencipta
seni (seniman), penikmat seni (masyarakat), dan karya seni (artifak).
Pencipta seni (seniman) -sebagai bagian dari
masyarakat- merefleksikan kehidupan alam, masyarakat dan kebudayaannya dalam
wujud karya seni yang sangat beragam, dan unik. Keragaman dan keunikan sebagai
akibat dari keragaman kondisi alam, masyarakat dan kebudayaannya.
Suatu kesenian akan dapat berkembang karena didukung
oleh masyarakatnya. Masyarakat berperan sebagai penikmat yang merasakan dampak
seni bukan dari perasaan atau pengertiannya tetapi dari imajinasinya. Setiap
masyarakat memiliki bentuk kesenian yang berbeda karena masyarakat juga
berbeda-beda. Kesenian yang berkembang pada kelompok masyarakat perkotaan
berbeda dengan masyarakat pedesaan. Kesenian masyarakat modern berbeda pula
dengan masyarakat tradisional. Perbedaan tersebut disebabkan antara lain oleh
sistem nilai, kondisi alam dan lingkungan, serta tatanan sosial- budayga.
Karya seni anak-anak juga dapat dikelompokkan ke
dalam karya seni, walaupun ketegasan mengenai seni anak-anak baru dibicarakan
dalam wacana pendidikan seni. Artinya bahwa ada semacam dua paradigma dalam
kenyataan seni orang dewasa dan seni anak-anak. Atau hal ini mungkin disebabkan
oleh pernyataan yang menegaskan bahwa semua anak itu "seniman" atau
manusia kreatif, yang memiliki kebakatan universal dalam masa petumbuhan
psikologis anak-anak.
Contoh Karya Seni Lukis Anak-anak
B. Pengertian Seni
Seni mempunyai usia yang lebih kurang sama dengan
keberadaan manusia di muka bumi ini. Dalam usia yang sangat tua, seni telah
menjadi bagian dari sejarah kehidupan budaya manusia di berbagai belahan bumi,
dengan beraneka macam bentuk dan jenis. Walaupun orang telah akrab dengan
istilah 'seni', namun terkadang masih belum jelas tentang 'apakah definisi seni
itu'.
Herbert Read menyatakan bahwa istilah 'art pada
umumnya dihubungkan dengan bagia seni yang biasa ditandai dengan
istilah 'plasti' atau 'visual', tetapi semestinya di dalamnya termasuk pula seni
sastra dan seni musik.
Sesungguhnya memang terdapat ciri-ciri tertentu yang
dapat menandai semua cabang seni, dan sekalipun dalam catatan ini kita hanya
berurusan denan seni plastis (seni rupa), namun suatu definisi yang berlaku
umum terhadap semua cabang seni akan merupakan suatu titik tolak yang baik bagi
penjelajahan kita.
Schopenhauer adalah orang pertama yang menyatakan
bahwa semua cabang seni bersumber pada kondisi seni musik; pernyataan ini
sering disebut- sebut, sehingga menyebabkan sebagian besar kesalahtafsiran,
namun sebenarnya ia mengungkapkan suatu kebenaran yang penting. Sesungguhnya
Schopenhauer berpikir tentang kualitas abstrak dari seni musik, dan hampir
hanya dalam seni musik saja seorang seniman memiliki kemungkinan untuk menarik
perhatian publik secara langsung, tanpa intervensi medium komunikasinya yang
sering juga dipakai untuk maksud-maksud lain.
Dalam hal ini kita dapat mengambil beberapa contoh.
Seorang Penyair mesti menggunakan kata-kata yang berhubungan erat dengan
maknanya dalam dialog sehari-hari. Seorang pelukis biasanya berekspresi dengan
pengambaran keadaan dunia ini.
Hanya seorang komponis musiklah yang betul-betul
bebas menciptakan karya seni sesuai dengan kesadarannya sendiri, dan dengan
tiada tujuan lain kecuali untuk dapat menyenangkan.
Tetapi sebenarnya semua seniman mempunyai tujuan
yang sama, ialah untuk menyenangkan, dan secara sederhana Herbert Read menyimpulkan
bahwa seni adalah suatu usaha untuk menciptakan bentuk-bentuk yang
menyenangkan.
Bentuk yang menyenangkan berarti memuaskan kesadaran
keindahan kita. Rasa indah itu tercapai bila kita bisa menemukan kesatuan atau
harmoni dari hubungan bentuk-bentuk yang kita amati. Definisi ini menyatakan
pandangan dari segi kebentukan fisik (obyektivitas).
Definisi seni yang sederhana dan sering dilontarkan
oleh publik secara umum ialah segala macam keindahan yang diciptakan manusia.
Orang memandang bahwa seni merupakan karya keindahan yang menimbulkan
kenikmatan. Kenikmatan meliputi aspek kepuasan jasmani-rohani, yang muncul
setelah terjadi respon kepuasan dalam jiwa manusia, baik sebagai pencipta
(kreator) ataupun penikmat (apresiator).
Kesenian tradisional kita, misalnya gamelan,
merupakan paduan suara (nada) yang indah yang mengenakkan telingan
(pendengaran). Hiasan ukiran pada suatu dinding kamar memberikan kesemarakan
pandangan mata. Tarian Sunda yang lembut dan gemulai juga menyejukkan rasa,
setelah kita menikmati dan menghayatinya.
Kini persoalan seni adalah keindahan tidak selamanya
bertahansebagai satu-satunya definisi. Dalam seni kontemporer (termasuk seni
modern) yang dihasilkan seniman tidak hanya karya yang indah, tetapi juga karya
yang tidak indah dan tidak menyenangkan. Banyak karya seni kini lahir justru
bukannya menyenangkan, tetapi memberikan berbagai persoalan yang rumit (sebagai
problem kehidupan). Tema dalam seni tumbuh dari manifestasi kesengsaraan,
kemelaratan kekacauan atau bahkan protes sosial, dengan berbagai teknik.
Karya Seni Lukis Dinding Gua (Cave Painting), Zaman
Prasejarah di Indonesia
Jika menonton atau menikmati karya seni teater atau
musik kontemporer, serasa kita digelitik perasaan, atau dikuras pemikiran kita
untuk berupaya menelusuri alur cerita yang absurd (tidak mudah dimengerti, atau
tidak berujung pangkal). Kadang-kadang juga dihadapkan pada rangsangan
interpretasi (penafsiran) isi/ bentuk seni yang sedang atau sudah kita nikmati.
metode penciptaan yang eksperimental dan bernuansa
ekspresif dalam berbagai bentuk ungkapan.
Definisi seni yang lain dapat dijumpai dalam
Everyman Encyclopedia, yaitu bahwa seni merupakan segala sesuatu yang dilakukan
orang bukan atas dorongan kebutuhan pokoknya, melainkan adalah apa saja yang dilakukannya
semata-mata karena kehendak akan kemewahan, kenikmatan, ataupun karena
kebutuhan spiritual. Sendok dibuat untuk memenuhi kebutuhan pokok, sebagai alat
makan. Maka sendok bukanlah karya seni menurut definisi tersebut. Masih banyak
karya (benda) yang lain yang kita jumpai, misalnya rumah, pakaian penutup
aurat, dan barang yang digunakan untuk kebutuhan pokok hidup kita, yang bukan
seni. Yang seni yaitu alat musik gamelan, ukiran kayu, dan lain-lain
sejenisnya. Pakaian kita sebagai penutup aurat yang dibuat bukan hanya sebagai
penutup atau pelindung fisik, tetapi si perancang (pembuat pakaian) berusaha
memperindah motif serta modelnya dengan tujuan untuk menghias pakaian tersebut,
tentu saja hiasan atau model pakaian itu merupakan karya seni.
Kapak Bahu, Karya Kria/Kerajinan Zaman Prasejarah:
Berfungsi sebagai Perkakas Sehari-hari
Ki Hajar Dewantara seorang tokoh Pendidikan Nasional
kita telah membuat definisi seni sebagai berikut: "Seni adalah perbuatan
manusia yang timbul dari hidup perasaannya dan bersifat indah, hingga dapat
menggerakkan jiwa perasaan manusia yang lain, yang menikmati karya seni
tersebut" (Ki Hajar Dewantara, 1962:330).
Definisi Ki Hajar Dewantara tersebut sejalan dengan
pemikiran Leo Tolstoy yang menyatakan bahwa seni memiliki proses 'transfer
offeeling', atau pemindahan perasaan dari si pencipta ke penikmat seni. Dalam
hal ini seni merupakan suatu sarana komunikasi perasaan manusia (Tolstoy,
1960:51).
Definisi yang lain, dari pernyataan Akhdiat
Kartamiharja, yang menekankan bahwa seni merupakan kegiatan psikis (rohani)
manusia yang merefleksi kenyataan (realitas). Karena bentuk dan isi karya
tersebut memiliki daya untuk membangkitkan atau menggugah pengalaman tertentu
dalam alam psikis (rohani) si penikmat atau apresiator. Bila ditelaah, definisi
tersebut mengetengahkan peranan jiwa dalam proses berkarya seni dan karya seni
itu sendiri. Seniman yang melukis (menggambar) hanya dengan menggerakkan tangan
saja (aktivitas fisik), namun tidak melibatkan jiwa (ekspresi emosi), maka karyanya
belum dapat dinamakan seni.
Ahli seni dan filsuf berkebangsaan Amerika, Thomas
Munro, mendefinisikan seni sebagai alat buatan manusia yang menimbulkan
efek-efek psikologis atas manusia lain yang melihatnya. Efek tersebut mencakup
tanggapan-tanggapan yang berujud pengamatan, pengenalan, imajinasi, yang
rasional maupun emosional (Munro, 1963:19). Kedua definisi terakhir tersebut di
atas memberikan pernyataan yang sama, yaitu seni sebagai kegiatan psikis
(rohani) atau merupakan manifestasi jiwa.
Sudjojono, seorang pelukis zaman revolusi
kemerdekaan Indonesia, yang dianggap sebagai pendobrak tradisi seni lukis
pemandangan alam, juga menyatakan bahwa seni adalah produk ekspresi jiwa. Seni
tanpa jiwa ibarat masakan tanpa garam. Isi karya seni yang hidup tercermin dari
kandungan psikis/jiwanya (Yuliman, 1976:9-10).
Popo Iskandar, pelukis akademis, yang pengabdiannya
pada dunia seni lukis dan pendidikan seni rupa telah cukup lama, menyatakan
bahwa seni merupakan ekspresi yang dikongkritkan dalam kesadaran hidup berkelompok
atau bermasyarakat.
Karya Seni Lukis Baru Indonesia, Popo Iskandar:
"Empat Macan" (1998)
Karya seni juga memiliki nilai sosial. Kehadiran
seni didukung oleh adanya komunikasi antara masyarakat dengan pencipta
(seniman). Ekspresi seni yang terwujud menjadi karya seni yang merupakan sarana
komunikasi dan dalam upaya berinteraksi sosial. Mustahil karya seni dikatakan
keberadaannya tanpa dukungan masyarakat penikmat (apresiator). Justru proses
berkesenian merupakan satu kesatuan antar unsur pencipta dan penikmat, hingga
terjadi intteraksi apresiatif.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, seni diartikan
sebagai keahlian membuat karya yang bermutu (dilihat dari segi kehalusannya,
keindahannya, dan sebagainya) (Depdikbud, 1989:816).
Masih banyak definisi dari para pakar seni, seniman,
guru seni ataupun masyarakat penikmat seni. Secara sementara kita dapat
menyusun sendiri definisi seni yang didasari oleh berbagai definisi sebelumnya.
Seni ialah ekspresi perasaan manusia yang
dikongkritkan, untuk mengkomunikasikan pengalaman batinnya kepada orang lain
(masyarakat penikmat) sehingga merangsang timbulnya pengalaman batin pula
kepada penikmat yang menghayatinya. Seni lahir karena upaya manusia dalam
memahami kehidupan ini, baik kehidupan sosial, ekonomi, alam, dan sebagainya.
Ekspresi tersebut dikongkritkan melalui media gerak (tari), suara (musik),
rupa, dan penggabungan/peleburan berbagai media akan melahirkan kesatuan
estetik. Media berekspresi seni rupa meliputi bentuk, warna, bidang, garis,
barik/tekstur, dan unsur-unsur estetik.
C. Apakah Keindahan itu?
Ide terpenting dalam sejarah estetika filsafati
sejak zaman Yunani Kuno sampai abad 18 ialah masalah yang berkaitan dengan
keindahan (beauty). Persoalan yang digumuli oleh para filsuf ialah "Apakah
keidahan itu?".
Menurut asal katanya, "keindahan" dalam
perkataan bahasa Inggris: beautiful (dalam bahasa Perancis beau, sedang Italia
dan Spanyol bello yang berasal dari kata Latin bellum. Akar katanya adalahbonum
yang berarti kebaikan, kemudian mempunyai bentuk pengecilan menjadi bonellum
dan terakhir dipendekkan sehingga ditulis bellum. Menurut cakupannya orang
harus membedakan antara keindahan sebagai suatu kwalita abstrak dan sebagai
sebuah benda tertentu yang indah. Untuk perbedaan ini dalam bahasa Inggris sering
dipergunakan istilah beauty (kendahan) dan the beautifull (benda atau hal yang
indah). Dalam pembahasan filsafat, kedua pengertian itu kadang-kadang
dicampuradukkan saja.
Selain itu terdapat pula perbedaan menurut luasnya
pengertian yaitu:
a. Keindahan
dalam arti yang luas.
b. Keindahan
dalam arti estetis murni.
c. Keindahan
dalam arti terbatas dalam hubungannya dengan penglihatan.
Keindahan dalam arti yang luas, merupakan pengertian
semula dari bangsa Yunani, yang di dalamnya tercakup pula ide kebaikan. Plato
misalnya menyebut tentang watak yang indah dan hukum yang indah, sedang
Aristoteles merumuskan keindahan sebagai sesuatu yang selain baik juga
menyenangkan. Plotinus menulis tentang ilmu yang indah dan kebajikan yang
indah. Orang Yunani dulu berbicara pula mengenai buah pikiran yang indah dan
adat kebiasaan yang indah. Tapi bangsa Yunani juga mengenal pengertian
keindahan dalam arti estetis yang disebutnya symmetria ntuk keindahan
berdasarkan penglihatan (misalnya pada karya pahat dan arsitektur) dan
'harmonia' untuk keindahan berdasarkan pendengaran (musik). Jadi pengertian
keindahan yang seluas-luasnya meliputi: - keindahan seni, keindahan alam,
keindahan moral,
keindahan intelektual. Keindahan dalam arti estetika
murni,menyangkut pengalaman estetis dari seseorang dalam hubungannya dengan
segala sesuatu yang dicerapnya. Sedang keindahan dalam arti terbatas, lebih
disempitkan sehingga hanya menyangkut benda-benda yang dicerap dengan
penglihatan, yakni berupa keindahan dari bentuk dan warna secara kasat mata.
Pembagian dan pembedaan terhadap keindahan tersebut
di atas, masih belum jelas apakah sesungguhnya keindahan itu. Ini memang
merupakan suatu persoalan fisafati yang jawabannya beranekaragam. Salah satu
jawaban mencari ciri-ciri umum yang pada semua benda yang dianggap indah dan
kemudian menyamakan ciri-ciri atau kwalita hakiki itu dengan pengertian
keindahan. Jadi keindahan pada dasarnya adalah sejumlah kwalita pokok tertentu
yang terdapat pada sesuatu hal. Kwalita yang paling sering disebut adalah
kesatuan (unity), keselarasan (harmony),kesetangkupan (symmetry), keseimbangan
(balance) dan perlawanan (contrast).
Ciri-ciri pokok tersebut oleh ahli pikir yang
menyatakan bahwa keindahan tersusun dari pelbagai keselarasan dan perlawanan
dari garis, warna, bentuk, nada dan kata-kata. Ada pula yang berpendapat bahwa
keindahan adalah suatu kumpulan hubungan-hubungan yang selaras dalam suatu
benda dan diantara benda itu dengan si pengamat. Seorang filsuf seni dewasa ini
dari Inggris bernama Herbert Read dalam (The Meaning of Art)merumuskan definisi
bahwa keindahan adalah kesatuan dari hubungan-hubungan bentuk yang terdapat
diantara pencerapan-pencerapan inderawi kita (beauty is unity of formal
relations among our sense-perceptions).
Sebagian filsuf lain menghubungkan pengertian
keindahan dengan ide kesenangan (pleasure). Misalnya kaum Sofis di Atena (abad
5 sebelum Masehi) memberikan batasan keindahan sebgai sesuatu yang menyenangkan
terhadap penglihatan atau pendengaran (that which is pleasant to sight or
hearing). Sedang filsuf Abad Tengah yang terkenal Thomas Aquinas
(1225-1274)merumuskan keindahan sebagai id quod visum placet (sesuatu
yangmenyenangkan bila dilihat).
Masih banyak definisi-definisi lainnya yang dapt
dikemukakan, tapi tampaknya takkan memperdalam pemahaman orang tentang
keindahan, karena berlain-lainannya perumusan yang diberikan oleh masing-masing
filsuf. Kini para ahli estetik umumnya berpendapat bahwa membuat batasan dari
istilah seperti 'keindahan' atau 'indah' itu merupakan problem semantik modern
yang tiada satu jawaban yang benar. Dalam estetik modern orang lebih banyak
berbicara tentang seni dan pengalaman estetis, karena ini bukan pengertian
abstrak melainkan gejala sesuatu yang konkrit yang dapat ditelaah dengan
pengamatan secara empiris dan penguraian yang sistematis. Oleh karena itu mulai
abad 18 pengertian keindahan kehilangan kedudukannya. Bahkan menurut ahli
estetik Polandia Wladyslaw Tatarkiewicz, orang jarang menemukan konsepsi
tentang keindahan dalam tulisan-tulisan estetik dari abad 20 ini.
Karya Seni Rupa Modern Barat, Jackson Pollock
Karya Seni Rupa Baru Indonesia, Affandi